Wednesday, May 29, 2013

You Know What's Funny

Sometimes you ask some people to stay, and they go, and they turn your back on you, without saying anything, because they think you don't deserve any explanation. And they go anyway, even when you ask them to stay.

Sometimes you ask some people to go, without any explanation, push them away really hard, and they stay. And they care even when you bite them and corner them to the edge. They say, I know what you're doing, and I want to be around.

And you're okay because of both, the first batch of people hurt you, and the second batch of people heal you. The first batch of people remind you how hurt it is to be left alone, so you can appreciate the second batch of people more. As if you need to have both even not all of them are pleasant.

Thursday, May 23, 2013

A Step Back

Hey there.

It's been a while since I last updated this blog. I don't know if anyone reads it anyway, hehe. Doesn't matter. I think I write this blog for my own amusement, and if others like it, it's good :) I think the assignment for latest Gogirl article inspired me to write in my blog again. That last assignment made me have to go for a lot of blogwalking, blog to blog, see random thoughts and extraordinary lives of other people. I feel like a stalker, but in a good way. I think they want to be stalked anyway.

Anyway.

Soon I'll have my birthday. I can't believe that I'll turn 23 soon. It's so cliche, but time does fly. Every birthday, especially after my 17th birthday, I always think: My year ahead can't get crazier than this. And it does get crazier. Worse. Better. Just really crazy. I mean not like crazy as in ordinary crazy. A crime happened, loss, weird awesome lovers, twist and turn of my hopes and dreams, they all happen. It's like a bad party you love. A bad party I live.

But it's the only occasion I can do something like this: to step back from my life and observe myself from afar. I'm not the kind who likes doing this, it makes me really nervous. But I need to do it anyway. I keep asking myself, what kind of person I want to be? This is the time, this is the start, everything's gonna be too late in front of this. So what do I want? I see people doing nothing in front of me, some others do really awesome things in my age. I mean even my ex boyfriend works for the president now. Where am I? What do I want to do? Like Lana del Rey challenge in her Ride poem, "Have you lived your darkest fantasy?".

There are some things I successfully did and failed to do this year. I graduated from the uni, just in time, like I promised to my bestfriend. I volunteered to a faraway place, got into a strange adventure, met a lot of people who changed my life. I fell in love really hard twice this year, got into relationship with them, had the best time, and suffered loss. I followed my passion. I got to get into an awesome working place I never dreamed before, although my parents initially challenged my decision. But I've always been the rebel. And I followed my path anyway.

But where's the third book? I always dreamed to make it soon, when I was still 22. I finished it, and I wasn't satisfied with it. I then tried to rewrite it, and it hasn't even finished until now. What happened? And I got a really bad thing happened to me last year, an unspoken thing that haunted me until now. Which I couldn't even speak about here. And at that point, the only people I told it to, they asked me, do you want to go on? Can you forget this and go on with your life? Because there's still a lot of things in front of you. Can you get over it?

The battle still lies ahead. The battle with my passion in life, the battle with the demons. I don't think many people saw me to go this far. But I will try to even go further. I want to get lost, I want to try everything. I want to lose everything, and I want to get everything. I want to have more contribution to the society and be more in peace with myself. I want to trust in my talent more. I want to...

When new things happen last year, I want to be like this. I want to step back and remember what I want. I want to show people who knows what I've been through that I'll survive everything and won't let any bad thing stops me. Because sometimes I forget. And I don't want to.

23.

What a strange year behind, and what an awesome year ahead.

F

Friday, April 26, 2013

"Dance Dance Dance"

Menari saja, katanya. Ikuti iramanya. Apapun yang terjadi di dunia ini, gerakkan kakimu, tanpa perlu memikirkan seperti apa kamu terlihat.

Sejak bekerja di ibukota, saya mulai mengerti keluhan klise orang-orang yang dulu sering saya dengar. Kemonotonan. Setiap hari masuk kerja, selesai, (main), istirahat, pulang, dan besoknya seperti itu lagi. Seakan-akan kita dilempar ke sebuah lantai dansa dan diberikan musik yang tidak bisa kita pilih. Jadi kita menari sebisanya. Kalau tidak, kita akan tersenggol dan jatuh.

Buku Murakami ke-7 yang saya baca ini datang di tengah masa-masa awal saya berada di tengah silent mayhem itu. Saya awalnya tidak berniat membacanya. Seperti biasa, saya kabur sesekali dari dunia nyata ke toko buku. Tidak membeli apapun tidak apa-apa. Saya cukup senang ketika sekadar bisa membaca bagian awal buku-buku.

Dan bagian awal buku Dance Dance Dance tinggal di pikiran saya, bahkan beberapa hari setelah saya meninggalkan toko buku itu.

Obsesi seorang pria terhadap sebuah hotel. Dia mengingat sebuah hotel yang pernah dikunjunginya, dan ia merasa hotel itu memanggilnya (?).

Entah saya memikirkan sebuah tempat yang saya diam-diam rindukan, atau ada arti lain yang tidak saya sadari dari pembuka itu, saya akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini dan membacanya.

Buku ini punya plot yang sangat lambat. Ada hal-hal aneh yang terjadi di sepanjang cerita, sentuhan mistis di tengah rasionalitas dunia nyata; lantai 16 yang bisa mengantarkan ke dunia lain yang gelap dan dihuni manusia domba, kematian misterius orang-orang di sekitar tokoh utama, atau suara tangisan dari gadis di masa lalu. Di bukunya yang dulu, "Kafka On The Shore", saya kesal dengan Murakami yang seakan terlalu "sabar" untuk memberikan pembaca inti ceritanya. Segalanya seakan tidak beraturan, tidak ada hal yang signifikan terjadi selama beratus-ratus halaman. Tapi anehnya saya tidak merasa kesal kali ini. Saya mulai merasa hidup memang alaminya membosankan seperti itu, dengan bumbu keanehan di sana-sini.

Saya juga tidak membacanya dengan tekun. Saya mengambilnya setiap kali ada waktu, di kamar mandi, sebelum tidur, atau malah ketika duduk di busway. Saya tidak peduli lagi apa ada hal yang menarik di ceritanya, saya merasa sedang berbagi tentang hidup dengan Murakami, dengan segala kebosanannya. Lucu karena saya tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya terhadap sebuah buku. Semua buku harus menarik terus menerus dari awal sampai akhir, menurut saya. Intens, menegangkan, atau lucu, mengharukan.

Tapi ternyata buku ini punya kejutan. Halaman-halaman akhirnya membuat saya menangis. Murakami ternyata memang sabar untuk membeberkan segalanya di puluhan halaman terakhirnya. Lalu momen magis dari sastra muncul. Saya begitu terlibat dengan perasaan dan pengalaman si tokoh, sampai saya merefleksikannya pada kehidupan saya sendiri. Ketika si tokoh akhirnya merasakan sesuatu, bahwa semua orang di sekitarnya akan hilang, prosa Murakami langsung menunjukkan tajinya. Saya tersedu-sedu menutup buku ini.

Entah apa yang bisa saya ambil darinya. Penulis yang begitu getol menyambangi alam mimpi dan ketidaksadaran orang ini menarik pembacanya ke tempat itu juga, ke ruangan-ruangan di ujung jiwa kita, yang biasanya terkunci rapat. Bahwa di tengah hidup yang kadang terlihat datar ini, manusia selalu punya perasaan-perasaan organik yang hidup dan tidak bisa diatur oleh sistem seperti apapun, di bawah kepalanya. Bahwa di tengah dunia yang mekanistis dan chaotic, seseorang selalu bebas untuk mempunyai satu ruangan pribadi di mana dia berbicara dengan dirinya. Menemui perasaannya dan menemui orang-orang yang telah meninggalkannya.

Kalau kamu sedang merasa ingin mengunjungi tempat itu, buku ini mungkin bisa membantumu.

F


Thursday, April 18, 2013

ada telepon.

Ada telepon berdering. Suaranya seperti bel yang digerak-gerakkan dengan cepat.
Aku membuka mata. Aku bahkan tak yakin ingin mengangkatnya.
Tapi aku menerka.

Ada telepon berdering.
Entah darimana. Mungkin salah sambung. Mungkin darimu. Mungkin darinya.
Beberapa menit yang lalu aku ingin dia bersuara.
Sekarang, aku bahkan terlalu bosan untuk sebuah tanda tanya.

Ada telepon berdering.
Tapi jika yang kudengar, kelak, hanya kata-kata, suara,
yang mungkin sudah kau susun cantik-cantik,
sampai aku tak tahu lagi maknanya,
mungkin dia akan terus berteriak,
hingga aku berhenti bergerak,
dan kau mulai menggenggamku dengan pantas adanya.

Monday, March 25, 2013

blurred lines.

your gesture carries some other people's gestures. maybe you wouldn't able to understand that. you carry my mother, my past lover, my father, my brother, my friend's gesture. you are what you are now, with what you do, and you are what they were, and what they did.

maybe I shouldn't relate you with the memories, because you deserve your own spot of memory in my head. but there's a blurred line between memories, and each affects another. I can't see your gestures without interpreting it as how I experienced it before. maybe when you're mad I'd see it as your show of affection, maybe when you're not there, I'd see it as a gesture of disinterest and disconnection.

but you deserve your own memory, with your own lines, although I know, that maybe, you'll also affect the memories I have about another people. and that's how I know you'll live inside here.

sebuah perang di kepalaku.

kuah mie bakso itu terasa terlalu asin. mungkin bukan salah orang-orang yang membuatnya. mungkin beberapa tetes keringatku jatuh ke sana. malam masih panas, diiringi orkestra suara klakson-klakson yang bersahutan tanpa harmoni dan gerungan mesin, juga percakapan samar di berbagai sudut antar para remaja dan bapak-bapak tua.

aku tidak pernah benar-benar berada di sana. dengan lidah yang penasaran mengecap berbagai rasa, dan telinga yang menangkap berbagai suara. tidak ada artinya. semua stimulus tidak bisa dikodekan, tidak ada yang berhenti dan menjadi sesuatu yang berarti.

dunia ini adalah surga dan neraka pribadi.

mungkin bangku-bangku kosong di sebelahku yang membuatku tidak ada di situ. mungkin keramaiannya. mungkin aku tinggal di dunia yang lainnya, yang hanya kukunjungi setiap malam, sebelum kesadaranku lenyap dan aku terlelap.

dan kamu.

segalanya terkadang berarti denganmu. dengan sentuhan yang juga tidak bisa kuartikan, sentuhan yang tak tinggal dan menguap tanpa bekas ketika kamu tiada. aku telah menyaksikan semua orang datang dan pergi, dan aku belajar untuk tidak mengharapkan siapapun kembali. tapi diam-diam aku menanti. aku berusaha mengingat hal-hal kecil seperti hangat tubuhmu atau suaramu yang lembut. kamu bilang ingin memasuki kepalaku dan berusaha bertahan di dalamnya. di dalamnya ada perang, aku memperingatkanmu. kamu tertawa dan tidak peduli.

sesuatu terputus.

denganmu.

mungkin telepon-telepon yang tidak kusambungkan. mungkin suara-suara yang tidak kudengar. mungkin rasa familiar yang sudah lama tergerus oleh waktu dan pemisahan diri dari hal-hal yang ada di depanku.

mangkuk di depanku tiba-tiba kosong dan aku tak ingat perginya kemana. sudah waktunya. aku beranjak dan keluar dari sana, kembali ke ramai. kembali ke segala hal yang tidak aku tahu.

kembali pada segala hal yang bukan kamu.

Saturday, March 16, 2013

Hujan pun Tidak Berhenti

Aku tidak pandai membaca pertanda atau arti dari perilaku seseorang. Seperti ketika aku kecil dan ibuku terus membacakan cerita yang sama setiap malam. Alih-alih membacakan cerita dari buku-buku dongeng yang sudah ada, dia membacakan ceritanya sendiri. Isinya selalu tentang hujan. Hujan yang berperilaku seperti manusia. Hujan yang turun ketika dia ingin turun, hujan yang berhenti ketika dia ingin berhenti.
Aku menerimanya mentah-mentah selama aku kecil, dan aku percaya hujan benar-benar melakukan itu. Aku percaya hujan punya kehendak. Ibuku mungkin orangtua paling aneh saat itu, memperkenalkan konsep hujan lebih awal dari konsep Tuhan. Tapi itu yang dia lakukan.
Hingga sesuatu terjadi di suatu hari. Kami tidak duduk bertiga di meja makan pada suatu pagi. Ayah katanya pergi, dia menemukan orang lain yang ia pilih lebih dari kami. Ibu mulai berubah. Ia tidak membacakanku dongeng-dongeng lagi. Dia tidak pergi kemana-mana, hanya tidur dengan posisi seperti bayi di dalam kandungan di dalam kamarnya. Dia juga berhenti makan, berhenti mandi.
Sebelum dan sepulang sekolah, aku akan duduk di sampingnya, mengajaknya bicara walau ia tak pernah menyahut apapun yang kukatakan. Kadang aku memintanya untuk makan, tapi dia tidak membiarkannya masuk ke dalam perutnya. Lama-lama aku bisa melihat tulangnya menonjol di tubuhnya. Ia hanya minum seperlunya, lalu tidur lagi. Aku kadang berusaha menangis keras di sampingnya, tapi itu pun tak menggerakkannya.
Lalu suatu hari dia berbalik di tempat tidurnya dan menggenggam tanganku. Dia meminta maaf. Aku tak mengerti.
Dia mulai bercerita. Tentang hujan lagi. Kali ini berbeda. Katanya hujan tak mau berhenti. Katanya hujan tak punya lagi kehendak, tak punya lagi kekuatan untuk bertindak.
Hujan hanya tak pernah berhenti, di suatu kota. Yang jauh. Yang tak pernah kulihat, katanya. Aku memeluknya tapi dia begitu dingin dan ia tertidur.
Aku tak pandai membaca tanda-tanda. Ketika esoknya dia tak ada lagi di sana, aku tak menemukan apa-apa. Hanya kertas-kertas yang berserakan di atas kasurnya. Tentang hujan yang tak pernah berhenti.