Monday, September 30, 2013

Melancholia

Tonight me and my good friend went to see a maze, called Autisticmaze. After you get into it, you're supposed to understand better the mind of autistic children. You're supposed to feel what they feel and see what they see.
In a way, I applaud the committee who made the maze to increase the awareness on autism. I think autistic people get misunderstood a lot, so it's very good that they tried to change that.
But in a way, it still felt very superficial to me. I can't get in there. I'm not there, inside their mind. I don't even know if it's possible to do such thing. They just put quotes on how they feel and see things, as well as some interactive things like fruit autistic kids can't smell, or even headphone to hear what the autistic kids hear from certain source of sound. Still didn't do it for me.
But what my friend said kinda rang a bell inside my head: you're hard to understand too. Maybe you'll have a maze like that as well to make people understand you better.
Call me pessimistic, but I don't know if you can ever really understand anybody around you. You think you know, but uou don't know for sure. People do surprising stuff. Let alone me.
Why are you so silent all the time? Why do you suddenly get silent and act like you're hurt? Why do you believe in such thing?
I can never explain it. I could try, but deep in my heart, I know some things are incredibly private that you can't even share it to other people, not can you make them fell better. Some others are hard to be communicated to.
Like, If I said I heard something in your tone, or your pupil that hurts and scares me, would you understand?
No? That's what I gotta love.

Friday, September 6, 2013

Indescribable

I wanna say a lot of things, but I think this video sums everything up. Everything in my head. I guess. It's not fair, I should have my own voice. But this time, I'll let GD do the talking.

Sunday, September 1, 2013

The Bus

The bus almost hit me. I couldn't see anyone inside as the windows were covered by jet black filter. It didn't stop out of sudden like I thought it would. As I threw myself to the ground to avoid it, the bus kept on going, slowly, then stopped almost half a mile from me. As if the people inside just noticed I existed and talked about stopping for me. I resigned. The cold soil soothed me. I couldn't care less if that bus really broke my bones.
I could see a man hopped out from the bus. He wore white tshirt and jeans. I couldn't see his face but I knew he had dark brown hair. Like the soil. I wondered if it was as soothing.
As he walked towards me, his face grew clearer like the bottom of a lake when you move your face closer to the water. He had small eyes, long nose, and even smaller lips. His shoulder was broad and his chest seemed strong.
"You walkin alone?" He asked.
I nodded. His eyes shifted to my backpack that lied before me.
"You ran away from home?" He asked again.
I nodded again. "I used to."
"What do you mean you used to?"
"I'm on my way home." I tried to hide the blush on my cheek. I didn't know if he knew anyone who ran away and came back. "It must sounded silly, but--"
"Nah, it didn't. People do that."
"You think so?"
"Yeah, running away is tiring."
I remember I felt slightly warmer after I heard him muttering that sentence. Smile came to my face. He seemed to know. It's always nice to meet someone who knows stuff.
"Yes, it is," I said.
"I'm sorry about the bus. The driver didn't see you."
"It's okay."
Then he looked at me for a minute or so, without blinking. I let him do that. I usually got really mad at someone who did what he did, but I could tolerate his presence.
"Come along with us."
I didn't even think about who "us" was. I thought about the high trees around me, and the strange sounds from the forest, and the shadows that passed so quickly you didn't know whether they really existed or not.
"Would you guys go to Marine Dock?" I mentioned my city.
"We could get you closer to that place. Hell, I'll even drop you home myself. It's not good, you know, this kind of place. This road. You shouldn't be alone."
I knew he was right. I did choose to be alone on this whole journey. But that was the first time someone asked me to join him. To choose something else than my solitude. Naturally, anything is better than being alone. Or so I felt at that moment.
So I nodded, for the third time. Now he smiled so wide, I didn't know how it made him so happy. I got up, and he held my hand to join him to walk towards the bus.
I tried to see the inside, and I still couldn't see anything. Then we walked up the stairs, and I began to see the old guy who sat in the driver seat. He was pale, and unmoved by my presence. There were a lot of vacant seats. "Sit beside me," he said.
I concurred. We sat on the second row, side to side. I closed my eyes, and I could feel the bus moving. And then deafening silence. He grabbed my hands. I didn't stop him.
Then I couldn't feel his touch anymore.
"You know this bus isn't going to your home, right?"
I couldn't even open my eyes. I just nodded, again, and fell asleep.

Friday, August 30, 2013

Direction

Where are you going?
I don't know. I'm just looking for noise. That's my direction in the world.

Thursday, August 29, 2013

Last Day On Earth

Menit itu adalah menit terpanjang dalam hidupku.
Bergerak. Aku bisa mendengar suara derap langkah orang-orang berlarian di luar sana. Entah mengejar apa. Mencari siapa.
Bergerak. Tanah juga. Yang biasanya tertidur tenang di bawah kakiku. Dinding yang bergeser. Retak. Segala hal yang kupikir tak akan pernah beranjak dari tempatnya. Beton dan kaca-kaca beterbangan.
Tak bergerak. Onggokan tubuhmu di atas pangkuanku. Tak membuka mata, tak mati. Tapi aku masih bisa membayangkan dirimu di dalamnya. Tentu saja.
Pinggulmu yang tadi malam masih melenggak-lenggok, menempel ke tubuhku. Mengikuti irama lagu cepat, dengan bass berdentum-dentum yang menggetarkan dinding kamarmu. Jenis musik yang padahal kau benci. Siapa peduli! Teriakmu. Tubuh kurusmu kemudian naik ke atas kasur, melompat-lompat riang seakan kau 20 tahun lebih muda dari usiamu.
Aku hanya bisa duduk di sofa sebelah kasurmu, menyesap teh, memandangimu. Rambut panjangmu kini tak beraturan lagi, berjatuhan di depan wajahmu. Kau bahkan tak menyibaknya.
Ayo sini! teriakmu. Ayo, jangan sampai kamu menyesal!
Tubuhku tetap tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan energi yang sedang meledak-ledak di dalam dirimu. Entah kenapa.
Berita di TV masih menyiarkan hal yang sama. "Besok! Hari terakhir di dunia. Para ahli telah memastikannya." Si pembaca berita kemudian terlihat menahan tangis. Lucu.
Kau kemudian meloncat menuju rak berisi buku-buku kesayanganmu. Tubuhmu masih bergoyang tak beraturan. Dan seakan itu adalah bagian dari tarian ritual, kau mengambil satu buku dan mulai merobek-robeknya. Kini alisku naik. Tapi kau tampak menikmatinya. Aku ingat kau pernah bilang betapa buku-buku itu adalah dunia keduamu. Bahwa buku-buku itu menyelamatkanmu.
Penampilanmu kau tutup dengan menarik rak bukumu itu ke lantai, sampai suara berdebum keras terdengar. Tetangga kita berteriak. Berisik! Teriak mereka.
Siapa yang tidur di hari terakhir dunia! Teriakmu.
Mereka tak bisa menyahut.
Dengan napas terengah, kau terjatuh ke kasurmu. Sesaat kau membatu, memandangi langit-langit. Hey, kesini, ajakmu.
Aku patuh. Kurebahkan tubuhku juga di sampingmu.
Ayolah, apa yang kamu inginkan di hari terakhir ini?
Tidak ada, ujarku.
Kau bercanda.
Aku cuma ingin bersamamu, bisikku. Lalu aku menyadari betapa murahannya kata-kataku.
Semua ini... nggak ada artinya buatmu ya? tanyamu.
Tidak ada.
Setidaknya bilanglah kata-kata terakhirmu padaku. Kata-kata perpisahanmu pada dunia.
Fuck you.
Apa?
Itu kata-kata terakhirku.
Oh, itu, kata-kata terakhirmu? Baiklah. Kau tertawa lepas. Hey, aku tidak ingin melihat dunia ini berakhir, lho. Aku tidak siap. Kita juga akan menghilang ya?
Ya.
Kita tinggal di sini saja ya? Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku dan kamu saja.
Oke.
Oke.
Lalu kita tertidur. Waktu dan tempat berseliweran tanpa jejak. Kita saja.
Dan di sini. Kau tak bangun juga.hingga sekarang. Aku bisa mendengar detak waktunya. Satu menit lagi. Akhir dunia.
tik. tik.
boom.

Monday, June 3, 2013

Frame Film yang Terhapus


Seperti apa, ya, film Indonesia tanpa sejarah di belakangnya?

Itu pertanyaan yang muncul di benak saya waktu menghadiri nonton bareng film Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) hari Sabtu 1 Juni 2013 kemarin di Rumah Buku, Hegarmanah, Bandung. Film dokumenter buatan Forum Lenteng ini mengangkat masalah urgent yang tidak pernah saya dengar sebelumnya: sejarah film Indonesia dalam bahaya. Film dokumenter ini mengangkatnya dari sudut pandang seorang tokoh film ternama Indonesia yang sekarang telah berpulang, bapak Misbach Yusa Biran. Pernah dengar namanya? Saya belum, dan saya jadi merasa bersalah. Kenapa saya lebih tahu nama-nama sutradara terkenal dari Hollywood dan negara-negara lain, tapi tidak tahu sutradara terkenal Indonesia? Padahal namanya ada di sekitar 40 film Indonesia, dan Ibu saya bilang dia memang terkenal di zamannya. Apa saya memang sebuta itu pada sejarah perfilman Indonesia? Oke, balik lagi ke topik. Ternyata Pak Misbach Yusa Biran adalah orang yang menyadari kurangnya dokumentasi film Indonesia. Dia akhirnya mendirikan Sinematek bersama Asrul Sani, yang kira-kira merupakan tempat dikumpulkannya dokumentasi film Indonesia, dari rol-rol film, manuskrip skenario, poster, foto, dari ribuan film Indonesia. Sayangnya, ini bukan tanpa kendala. Sinematek tidak dapat dikelola sebagaimana seharusnya, karena banyak film yang tidak dirawat dengan baik sampai tidak bisa diputar lagi, bahkan sampai membatu. Alat-alat yang dibutuhkan tidak ada, dan banyak teknik yang salah dalam perawatannya. Belum lagi masalah kekurangan dana. Tapi, siapa yang mengurusnya selain mereka?

Sesaat, saya pikir masalahnya adalah kurangnya kepedulian orang-orang Indonesia tentang pengurusan sejarah film itu. Tapi ternyata masalahnya lebih dalam lagi. Organisasi Sinematek ini ternyata tertutup dan seakan "menolak" bantuan dari luar. Intervensi dari luar tidak bisa masuk, orang-orang yang mau membantu didorong pergi. Ruwet. Diskusi kami malam itu membahas juga bagaimana ini bisa terjadi, dan ternyata kendala terbesarnya adalah bagaimana organisasi itu adalah badan hukum pribadi yang bahkan negara pun jadi sulit ikut campur di dalamnya.

Tapi apa jadinya kalau sejarah film kita betul-betul terhapus dengan masalah pemeliharaan seperti ini? Pertanyaan lebih lanjut, sepenting apa sebuah negara mengelola bukti-bukti sejarah perfilmannya?

Almarhum Pak Misbach sangat meyakini kekuatan film sebagai media persuasi. Ada banyak film-film yang pesannya begitu penting di masa lalu, dari tentang perjuangan, pahlawan-pahlawan, sampai pesan-pesan kehidupan. Akan terasa sangat salah ketika kita tidak bisa melihat balik ke masa itu dan mengingatkan diri pada inti film Indonesia. Apa yang pernah disampaikan filmmaker hebat di masa lalu seperti Usmar Ismail, Teguh Karya, Sjumandjaja?  Di tengah maraknya kritik terhadap film Indonesia sekarang, kita juga tidak bisa menutup mata dari karya-karya itu. Belum lagi peran film sebagai proyeksi dari masyarakat di kala itu. Tidakkah kita bisa mempelajari masyarakat kita di masa lalu dengan film-film itu, mempelajari nilai-nilainya? Untuk membuat proyeksi yang baik dari masyarakat kita sekarang juga, untuk dilihat oleh generasi berikutnya? Tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau kita bahkan tidak bisa mengurus bukti sejarah yang kita punya?

Masalah lain adalah restorasi film. Restorasi film Lewat Djam Malam yang baru-baru ini dilakukan ternyata memakan biaya sampai 6 milyar. Dan ternyata itu dilakukan oleh negara lain, Singapura tepatnya. Kalau memang Indonesia ingin melakukan restorasi lagi, bagaimana kita menyelamatkan film-film ini, dengan perhitungan restorasi 6 milyar per film? Yang paling menyedihkan, film-film kita sekarang banyak yang malah disimpan di negara lain seperti Jepang dan Belanda. Mereka yang mengurus dan merestorasi. Yang artinya itu menjadi milik mereka sekarang. Apa kita bisa membiarkan sejarah kita dicuri seperti itu?

Gedoran tentang pentingnya sejarah perfilman Indonesia jujur bikin saya miris juga. Malam itu, semua orang berpikir tentang apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan frame-frame yang terhapus ini. Diskusi berakhir dengan pemikiran bahwa sudah waktunya Indonesia menyatakan bahwa film-film kita ini adalah warisan budaya yang harus diselamatkan, dan membuat sistem yang lebih baik untuk merawatnya. Kepergian dari tokoh yang begitu peduli dan mengabdikan dirinya untuk menyelamatkan sejarah film Indonesia jadi penggedor kuat yang makin menekankan urgensi ini.

Satu lagi, pembicara malam itu, Prima Rusdi, menyadarkan saya juga tentang satu hal. Mbak Prima menyatakan bahwa setiap hal yang kita rekam, bahkan hanya sekadar video sehari-hari, adalah sejarah. Adalah bagian dari sejarah, dan pantas disimpan untuk menjadi dokumentasi sejarah. Dengan pemikiran seperti itu, dan apa yang sudah terjadi selama ini, dia berpikir bahwa mudah-mudahan orang juga jadi berpikir dua kali tiap akan merekam sesuatu. Apalagi di zaman digital seperti sekarang, dimana sekali kita menyimpan sesuatu di internet, data itu tidak akan pernah terhapus.

Jadi, sejarah apa yang akan kita buat sekarang, dan seperti apa kita akan memperlakukan sejarah masa lampau kita?

(lebih jauh tentang Sinematek, mungkin sekilas bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Sinematek_Indonesia)

P.S: Maaf jadi agak serius, saya tertarik mengangkat isu ini karena kemarin bener-bener kaget setelah nonton dokumenter itu. Bravo, forum Lenteng. Dan film Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) dibuat oleh Hafiz Rancajale (penulis dan sutradara), Fuad Fauji (riset dan asisten sutradara), Mahardika Yudha (riset), serta Syaiful Anwar (kamera). Film ini diputar perdana 29 Maret 2013 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemudian diputar keliling beberapa kota, termasuk Bandung.
Kesalahan faktual mungkin saja ada di tulisan saya ini, karena ini adalah data yang saya kumpulkan dari menonton film dokumenter itu dan diskusi setelahnya. Kalau ada yang mau mengoreksi, dipersilakan.

Wednesday, May 29, 2013

You Know What's Funny

Sometimes you ask some people to stay, and they go, and they turn your back on you, without saying anything, because they think you don't deserve any explanation. And they go anyway, even when you ask them to stay.

Sometimes you ask some people to go, without any explanation, push them away really hard, and they stay. And they care even when you bite them and corner them to the edge. They say, I know what you're doing, and I want to be around.

And you're okay because of both, the first batch of people hurt you, and the second batch of people heal you. The first batch of people remind you how hurt it is to be left alone, so you can appreciate the second batch of people more. As if you need to have both even not all of them are pleasant.

Thursday, May 23, 2013

A Step Back

Hey there.

It's been a while since I last updated this blog. I don't know if anyone reads it anyway, hehe. Doesn't matter. I think I write this blog for my own amusement, and if others like it, it's good :) I think the assignment for latest Gogirl article inspired me to write in my blog again. That last assignment made me have to go for a lot of blogwalking, blog to blog, see random thoughts and extraordinary lives of other people. I feel like a stalker, but in a good way. I think they want to be stalked anyway.

Anyway.

Soon I'll have my birthday. I can't believe that I'll turn 23 soon. It's so cliche, but time does fly. Every birthday, especially after my 17th birthday, I always think: My year ahead can't get crazier than this. And it does get crazier. Worse. Better. Just really crazy. I mean not like crazy as in ordinary crazy. A crime happened, loss, weird awesome lovers, twist and turn of my hopes and dreams, they all happen. It's like a bad party you love. A bad party I live.

But it's the only occasion I can do something like this: to step back from my life and observe myself from afar. I'm not the kind who likes doing this, it makes me really nervous. But I need to do it anyway. I keep asking myself, what kind of person I want to be? This is the time, this is the start, everything's gonna be too late in front of this. So what do I want? I see people doing nothing in front of me, some others do really awesome things in my age. I mean even my ex boyfriend works for the president now. Where am I? What do I want to do? Like Lana del Rey challenge in her Ride poem, "Have you lived your darkest fantasy?".

There are some things I successfully did and failed to do this year. I graduated from the uni, just in time, like I promised to my bestfriend. I volunteered to a faraway place, got into a strange adventure, met a lot of people who changed my life. I fell in love really hard twice this year, got into relationship with them, had the best time, and suffered loss. I followed my passion. I got to get into an awesome working place I never dreamed before, although my parents initially challenged my decision. But I've always been the rebel. And I followed my path anyway.

But where's the third book? I always dreamed to make it soon, when I was still 22. I finished it, and I wasn't satisfied with it. I then tried to rewrite it, and it hasn't even finished until now. What happened? And I got a really bad thing happened to me last year, an unspoken thing that haunted me until now. Which I couldn't even speak about here. And at that point, the only people I told it to, they asked me, do you want to go on? Can you forget this and go on with your life? Because there's still a lot of things in front of you. Can you get over it?

The battle still lies ahead. The battle with my passion in life, the battle with the demons. I don't think many people saw me to go this far. But I will try to even go further. I want to get lost, I want to try everything. I want to lose everything, and I want to get everything. I want to have more contribution to the society and be more in peace with myself. I want to trust in my talent more. I want to...

When new things happen last year, I want to be like this. I want to step back and remember what I want. I want to show people who knows what I've been through that I'll survive everything and won't let any bad thing stops me. Because sometimes I forget. And I don't want to.

23.

What a strange year behind, and what an awesome year ahead.

F

Friday, April 26, 2013

"Dance Dance Dance"

Menari saja, katanya. Ikuti iramanya. Apapun yang terjadi di dunia ini, gerakkan kakimu, tanpa perlu memikirkan seperti apa kamu terlihat.

Sejak bekerja di ibukota, saya mulai mengerti keluhan klise orang-orang yang dulu sering saya dengar. Kemonotonan. Setiap hari masuk kerja, selesai, (main), istirahat, pulang, dan besoknya seperti itu lagi. Seakan-akan kita dilempar ke sebuah lantai dansa dan diberikan musik yang tidak bisa kita pilih. Jadi kita menari sebisanya. Kalau tidak, kita akan tersenggol dan jatuh.

Buku Murakami ke-7 yang saya baca ini datang di tengah masa-masa awal saya berada di tengah silent mayhem itu. Saya awalnya tidak berniat membacanya. Seperti biasa, saya kabur sesekali dari dunia nyata ke toko buku. Tidak membeli apapun tidak apa-apa. Saya cukup senang ketika sekadar bisa membaca bagian awal buku-buku.

Dan bagian awal buku Dance Dance Dance tinggal di pikiran saya, bahkan beberapa hari setelah saya meninggalkan toko buku itu.

Obsesi seorang pria terhadap sebuah hotel. Dia mengingat sebuah hotel yang pernah dikunjunginya, dan ia merasa hotel itu memanggilnya (?).

Entah saya memikirkan sebuah tempat yang saya diam-diam rindukan, atau ada arti lain yang tidak saya sadari dari pembuka itu, saya akhirnya memutuskan untuk membeli buku ini dan membacanya.

Buku ini punya plot yang sangat lambat. Ada hal-hal aneh yang terjadi di sepanjang cerita, sentuhan mistis di tengah rasionalitas dunia nyata; lantai 16 yang bisa mengantarkan ke dunia lain yang gelap dan dihuni manusia domba, kematian misterius orang-orang di sekitar tokoh utama, atau suara tangisan dari gadis di masa lalu. Di bukunya yang dulu, "Kafka On The Shore", saya kesal dengan Murakami yang seakan terlalu "sabar" untuk memberikan pembaca inti ceritanya. Segalanya seakan tidak beraturan, tidak ada hal yang signifikan terjadi selama beratus-ratus halaman. Tapi anehnya saya tidak merasa kesal kali ini. Saya mulai merasa hidup memang alaminya membosankan seperti itu, dengan bumbu keanehan di sana-sini.

Saya juga tidak membacanya dengan tekun. Saya mengambilnya setiap kali ada waktu, di kamar mandi, sebelum tidur, atau malah ketika duduk di busway. Saya tidak peduli lagi apa ada hal yang menarik di ceritanya, saya merasa sedang berbagi tentang hidup dengan Murakami, dengan segala kebosanannya. Lucu karena saya tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya terhadap sebuah buku. Semua buku harus menarik terus menerus dari awal sampai akhir, menurut saya. Intens, menegangkan, atau lucu, mengharukan.

Tapi ternyata buku ini punya kejutan. Halaman-halaman akhirnya membuat saya menangis. Murakami ternyata memang sabar untuk membeberkan segalanya di puluhan halaman terakhirnya. Lalu momen magis dari sastra muncul. Saya begitu terlibat dengan perasaan dan pengalaman si tokoh, sampai saya merefleksikannya pada kehidupan saya sendiri. Ketika si tokoh akhirnya merasakan sesuatu, bahwa semua orang di sekitarnya akan hilang, prosa Murakami langsung menunjukkan tajinya. Saya tersedu-sedu menutup buku ini.

Entah apa yang bisa saya ambil darinya. Penulis yang begitu getol menyambangi alam mimpi dan ketidaksadaran orang ini menarik pembacanya ke tempat itu juga, ke ruangan-ruangan di ujung jiwa kita, yang biasanya terkunci rapat. Bahwa di tengah hidup yang kadang terlihat datar ini, manusia selalu punya perasaan-perasaan organik yang hidup dan tidak bisa diatur oleh sistem seperti apapun, di bawah kepalanya. Bahwa di tengah dunia yang mekanistis dan chaotic, seseorang selalu bebas untuk mempunyai satu ruangan pribadi di mana dia berbicara dengan dirinya. Menemui perasaannya dan menemui orang-orang yang telah meninggalkannya.

Kalau kamu sedang merasa ingin mengunjungi tempat itu, buku ini mungkin bisa membantumu.

F


Thursday, April 18, 2013

ada telepon.

Ada telepon berdering. Suaranya seperti bel yang digerak-gerakkan dengan cepat.
Aku membuka mata. Aku bahkan tak yakin ingin mengangkatnya.
Tapi aku menerka.

Ada telepon berdering.
Entah darimana. Mungkin salah sambung. Mungkin darimu. Mungkin darinya.
Beberapa menit yang lalu aku ingin dia bersuara.
Sekarang, aku bahkan terlalu bosan untuk sebuah tanda tanya.

Ada telepon berdering.
Tapi jika yang kudengar, kelak, hanya kata-kata, suara,
yang mungkin sudah kau susun cantik-cantik,
sampai aku tak tahu lagi maknanya,
mungkin dia akan terus berteriak,
hingga aku berhenti bergerak,
dan kau mulai menggenggamku dengan pantas adanya.

Monday, March 25, 2013

blurred lines.

your gesture carries some other people's gestures. maybe you wouldn't able to understand that. you carry my mother, my past lover, my father, my brother, my friend's gesture. you are what you are now, with what you do, and you are what they were, and what they did.

maybe I shouldn't relate you with the memories, because you deserve your own spot of memory in my head. but there's a blurred line between memories, and each affects another. I can't see your gestures without interpreting it as how I experienced it before. maybe when you're mad I'd see it as your show of affection, maybe when you're not there, I'd see it as a gesture of disinterest and disconnection.

but you deserve your own memory, with your own lines, although I know, that maybe, you'll also affect the memories I have about another people. and that's how I know you'll live inside here.

sebuah perang di kepalaku.

kuah mie bakso itu terasa terlalu asin. mungkin bukan salah orang-orang yang membuatnya. mungkin beberapa tetes keringatku jatuh ke sana. malam masih panas, diiringi orkestra suara klakson-klakson yang bersahutan tanpa harmoni dan gerungan mesin, juga percakapan samar di berbagai sudut antar para remaja dan bapak-bapak tua.

aku tidak pernah benar-benar berada di sana. dengan lidah yang penasaran mengecap berbagai rasa, dan telinga yang menangkap berbagai suara. tidak ada artinya. semua stimulus tidak bisa dikodekan, tidak ada yang berhenti dan menjadi sesuatu yang berarti.

dunia ini adalah surga dan neraka pribadi.

mungkin bangku-bangku kosong di sebelahku yang membuatku tidak ada di situ. mungkin keramaiannya. mungkin aku tinggal di dunia yang lainnya, yang hanya kukunjungi setiap malam, sebelum kesadaranku lenyap dan aku terlelap.

dan kamu.

segalanya terkadang berarti denganmu. dengan sentuhan yang juga tidak bisa kuartikan, sentuhan yang tak tinggal dan menguap tanpa bekas ketika kamu tiada. aku telah menyaksikan semua orang datang dan pergi, dan aku belajar untuk tidak mengharapkan siapapun kembali. tapi diam-diam aku menanti. aku berusaha mengingat hal-hal kecil seperti hangat tubuhmu atau suaramu yang lembut. kamu bilang ingin memasuki kepalaku dan berusaha bertahan di dalamnya. di dalamnya ada perang, aku memperingatkanmu. kamu tertawa dan tidak peduli.

sesuatu terputus.

denganmu.

mungkin telepon-telepon yang tidak kusambungkan. mungkin suara-suara yang tidak kudengar. mungkin rasa familiar yang sudah lama tergerus oleh waktu dan pemisahan diri dari hal-hal yang ada di depanku.

mangkuk di depanku tiba-tiba kosong dan aku tak ingat perginya kemana. sudah waktunya. aku beranjak dan keluar dari sana, kembali ke ramai. kembali ke segala hal yang tidak aku tahu.

kembali pada segala hal yang bukan kamu.

Saturday, March 16, 2013

Hujan pun Tidak Berhenti

Aku tidak pandai membaca pertanda atau arti dari perilaku seseorang. Seperti ketika aku kecil dan ibuku terus membacakan cerita yang sama setiap malam. Alih-alih membacakan cerita dari buku-buku dongeng yang sudah ada, dia membacakan ceritanya sendiri. Isinya selalu tentang hujan. Hujan yang berperilaku seperti manusia. Hujan yang turun ketika dia ingin turun, hujan yang berhenti ketika dia ingin berhenti.
Aku menerimanya mentah-mentah selama aku kecil, dan aku percaya hujan benar-benar melakukan itu. Aku percaya hujan punya kehendak. Ibuku mungkin orangtua paling aneh saat itu, memperkenalkan konsep hujan lebih awal dari konsep Tuhan. Tapi itu yang dia lakukan.
Hingga sesuatu terjadi di suatu hari. Kami tidak duduk bertiga di meja makan pada suatu pagi. Ayah katanya pergi, dia menemukan orang lain yang ia pilih lebih dari kami. Ibu mulai berubah. Ia tidak membacakanku dongeng-dongeng lagi. Dia tidak pergi kemana-mana, hanya tidur dengan posisi seperti bayi di dalam kandungan di dalam kamarnya. Dia juga berhenti makan, berhenti mandi.
Sebelum dan sepulang sekolah, aku akan duduk di sampingnya, mengajaknya bicara walau ia tak pernah menyahut apapun yang kukatakan. Kadang aku memintanya untuk makan, tapi dia tidak membiarkannya masuk ke dalam perutnya. Lama-lama aku bisa melihat tulangnya menonjol di tubuhnya. Ia hanya minum seperlunya, lalu tidur lagi. Aku kadang berusaha menangis keras di sampingnya, tapi itu pun tak menggerakkannya.
Lalu suatu hari dia berbalik di tempat tidurnya dan menggenggam tanganku. Dia meminta maaf. Aku tak mengerti.
Dia mulai bercerita. Tentang hujan lagi. Kali ini berbeda. Katanya hujan tak mau berhenti. Katanya hujan tak punya lagi kehendak, tak punya lagi kekuatan untuk bertindak.
Hujan hanya tak pernah berhenti, di suatu kota. Yang jauh. Yang tak pernah kulihat, katanya. Aku memeluknya tapi dia begitu dingin dan ia tertidur.
Aku tak pandai membaca tanda-tanda. Ketika esoknya dia tak ada lagi di sana, aku tak menemukan apa-apa. Hanya kertas-kertas yang berserakan di atas kasurnya. Tentang hujan yang tak pernah berhenti.

Wednesday, March 13, 2013

The Sense of An Ending

 


I suppose memories happen every single seconds. Every passing moments become memories, especially for people who want to remember it. Otherwise, that moment will get lost in time.

But memory is tricky. It's all in your head, and you're not exactly the most accurate recorder of memory. What really happened isn't always like what you remember about it. People color their memories with their feelings, their judgement, their intention, and maybe what others tell them.

This is what Julian  Barnes talked about in his book, The Sense of An Ending. It won Man Booker Prize in 2011 (before Hilary Mantel started to get it year after year, no offense), so you know it should be good. But I don't think I'll review this book in a standard long description, but I dare to say that I haven't read this kind of book for a while. It's about a man who reviewed his memories about his friend, after he received a shocking news about that friend and a stack of money from unexpected source. Things happened in his past, but did it happen the way he remembered it?

The book is short, only 163 pages long. I think you'll be able to finish it in one sit. The language is very fluid and quite easy to understand, but the concept inside it will make you think long after you finish the last page. Barnes juggled with some philosophical meditation about time, memory, love, lost, and secrets. I really recommend you to read it.

Oh, and by the way, don't blame me if you also start to think about your past, and review what you remember about it in your mind after reading this book. And don't be too surprised with what you find. Cheers.

Saturday, February 2, 2013

bertualang. hilang.


“Suatu hari nanti aku akan jadi petualang!”

Aku masih ingat kata-kata yang selalu diutarakannya pada ibu kami sejak dia kecil. Rencananya itu tidak terlalu dapat kami pahami saat itu, karena anak-anak lain lebih banyak menyatakan bahwa mereka ingin jadi dokter atau pilot. Tapi ia tidak peduli. Ia mengagumi Indiana Jones dan petualangan-petualangannya di daerah eksotis, dan mengagumi pelayar seperti Marco Polo dan Columbus yang ia baca di ensiklopedianya.

Sejak kecil ia juga sering berkata bahwa ada lebih banyak di dunia ini dari yang kita tahu. Kalau kita berjalan cukup jauh, menyelam cukup dalam, akan ada hal-hal yang bisa kita temukan. Ia senang mengeksplorasi tempat-tempat di sekitar rumah kami begitu pulang dari sekolah, dibantu oleh teman-temannya. Ia akan pulang ketika petang, penuh peluh dan tanah. Entah bagaimana, tapi ia juga masih punya semangat untuk menceritakan apa yang dia temukan selama ia mengeksplorasi tempat-tempat itu.

Ia mengaku menemukan sangkar burung di sebuah pohon yang ditemuinya, ia mengaku bertemu hewan-hewan bersuara aneh, ia mengaku bertemu penebang kayu, petani, sampai juga bertemu dan berbicara dengan seorang peri.

Kami tak terlalu peduli dan hanya mengangguk-angguk saja ketika ia menceritakannya.

Hingga suatu hari ia merasa penasaran. Sangat penasaran.

Rasa penasaran penting dimiliki para petualang. Tapi rasa penasaran bisa mematikan kucing yang katanya punya 9 nyawa. Begitu juga dirinya. Pada suatu hari, dia merasa sangat penasaran hingga sesuatu terjadi padanya.

Begini.

Yang paling Ibu takutkan dari keinginannya untuk bertualang adalah bahwa dia akan benar-benar bertualang jauh seperti tokoh-tokoh yang dikaguminya, dan tak pernah kembali. Dia akan menyadari bahwa dunia yang dia miliki sekarang tidak cukup dan dia ingin pergi jauh. Atau sesuatu terjadi padanya kalau ia berpetualang sendiri. Karena ia butuh orang lain. Saat itu, kemungkinan itu tidak terlalu besar karena dia masih berumur 7 tahun. Sejauh apa anak berumur 7 tahun bisa pergi? Apalagi anak seperti dia?

Kami merendahkan kemampuannya.

Malam itu dia tidak pulang. Tidak ada baju kotor penuh peluhnya, tidak ada celotehannya ketika makan malam, teman-temannya juga mengaku tidak melihatnya hari itu. Dia benar-benar tidak ada. Ibu menangis histeris. Kami langsung naik ke mobil bersama ayah dan mulai berkeliling kemana-mana. Setiap kali bertemu seseorang, kami akan bertanya padanya, apakah dia melihat adikku? Anak kecil kurus dengan rambut tipis, yang selalu membawa tongkat karena dia tidak bisa melihat?

Mereka tidak melihatnya. Kami telah melintasi banyak jalan, jalan-jalan yang juga baru kulewati karena aku tak pernah mau melihat ke sekitar. Tidak ada yang melihatnya. Ibu menangis semakin histeris. Dia sudah cukup berani untuk membiarkannya keluar bersama teman-temannya, membiarkannya melakukan banyak hal yang tak berani dilakukan anak-anak sepertinya. Tapi Ibu tak mempersiapkan diri untuk kehilangannya.

Kami tak bisa menemukannya selama seminggu itu. Suasana rumah begitu sepi dan mencekam. Tak ada yang tertawa dan membawa kisah-kisah menarik. Aku merindukannya lebih dari kapanpun. Aku mulai memberanikan diri untuk keluar dan berjalan lebih jauh dari yang biasa kutempuh. Aku terus berpikir apakah dia juga melewati jalan ini. Apakah dia akan kembali. Apakah dia sedang berpetualang ke negeri yang jauh.

Beberapa bulan berlalu. Aku tak bisa bilang bahwa kami telah merelakannya. Tapi kami sudah tak bisa mencari kemana-mana lagi, hanya bisa menunggu, karena kertas telah disebar kemana-mana dan kami telah menanyai cukup banyak orang.

Hingga suatu hari kudengar suara teriakannya di depan rumah.
Jantungku berhenti berdetak untuk sejenak.
Kuintip dari balik jendela. Dia sedang berlutut di depan rumah. Ekspresinya tak dapat kujelaskan dengan kata-kata.

Aku segera berlari keluar dan memeluknya erat. Dia mulai menangis tersedu-sedu. Aku juga menangis.

“Aku senang aku bisa ke rumah. Aku belum bisa jadi petualang. Aku ingin jadi petualang yang bisa pulang ke rumah lagi. Aku cinta rumah,” isaknya.

Ia bercerita bahwa ia berjalan jauh sendirian dan bertemu dengan seorang laki-laki yang berkata dia sedang dalam perjalanan. Dia bertanya apa laki-laki itu petualang. Laki-laki itu mengiyakan. Laki-laki itu berkata dia akan pergi jauh. Dia bilang dia harap dia bisa ikut, setidaknya hingga kota lain. Ia penasaran. Keluarganya tak pernah mengajaknya keluar kota. Laki-laki itu tak menolak.

Dia tak bercerita apa saja yang dilakukan laki-laki itu. Dia hanya bilang laki-laki itu menolak untuk memulangkannya. Awalnya dia bersemangat, tapi dia mulai rindu padaku, ibu, ayah, dan rumah. Dia memutuskan untuk kabur, untuk pulang ke rumah. Berhari-hari. Mencari tumpangan pulang. Tidur di pinggir jalan. Kelaparan. Ketakutan.

Dia menangis keras sekali, tapi dia kemudian tertawa,karena menurutnya, anehnya, petualangan pulang ke rumah adalah petualangan terhebatnya.

Ditulis dalam sesi menulis Reading Lights Writers' Circle 2 Februari 2013

Thursday, January 31, 2013

silence

I understand you more in silence,
because in silence, I can listen to more things, in nothingness, in the absurdity of existence.

I understand you more in silence,
because words have never been able to contain our truth, the blunt, bittersweet, fearsome truth,
that fills the void between us.

I understand you more in silence,
because in silence we stop protecting each other. Words hurt, and silence can hurt even more,
but we naively believe that it won't.

I understand you more in silence,
because in silence we don't have to impress, we don't have to put each other with honesty test,
I can always let you be, I can put my mind to rest.

I understand you more in silence,
because it's closer to loneliness, and it reminds me that even you're here,
we're too close to hurt, but I'll do it anyway, because you deserve every drop of my sanity.

Monday, January 28, 2013

the boring books are the best.

long boring books are the best. of course books that you can enjoy and understand also make you happy. but long boring books sometimes don't make sense and you can fall asleep to it or keep reading it even when you don't feel like reading. like the words are just meaningless letters floating in the air that can keep you off from the real life. when you don't really wanna understand anything but you wanna run to another world. world of meaningless words. i remember reading a book called "by the time you read this i'll be dead", by julie anne peters, in which the character read a book that she doesn't even like just to run away from the world and from people around her.
my phone has only one book inside it now, anna karenina, that's dead long, and I don't even really like the story, but i like running to it when i feel sad.

detachment.

some crazy things can happen in your life. you might get a lottery, or meet the love of your life, have a car crash, get broken heart, get raped, your parents get divorced, or anything else.

when you start to write fiction, it's even crazier. you like constructing a world, a simulation of real world. and every single happy and sad moment become part of the fiction world. sometimes when you write it down in fiction, in an event assigned to certain character, you start to see what you went through in more objective point of view. the event seemed to be very personal to you, but when you put it down in words in fiction, when you started to make it as a part of the story line or a backdrop of a character, it becomes less personal. somehow. to me, at least. you understand the feeling or the event better, you feel like you're just a creator looking at it from afar.

i found it pretty strange yet relieving.

Monday, January 21, 2013

Im.mortal

If you saw me again today,
when you close your eyes,
I'd be smiling, smiling so big.
I would be there with the white dress that I always loved, the one that captivated your eyes.
You would be able to see me for as long as you want,
make me say things you want me to say.

Isn't it great?

We're not going to be like another lover.
You don't have to worry about how you look in my eyes,
You don't have to worry about whether you say the right words to impress me.
I'd always be happy.
I'd always be smiling, smiling so big,
like when you first saw me.
If you saw me again today,
I'd live another day.

I'd breathe the air you give me in your memory.
As death cannot beat memory,
nor it can beat insanity.
What we always have, is more than time, more than space, more than the distance, my dear.

It was the best time to fall in love,
the right time to keep me in your mind.
Blue sky, tender wind, white dress, two pairs of eyes that couldn't take themselves off each other.

I'm here, I'm with you, and I'll never leave,
as long as you remember me,
and devote your love to me, and me only,
and the blue sky, tender wind, white dress, and my eyes.

21st of January, 2013, in a small piece of paper

Saturday, January 19, 2013

Must I Write?



“Confess to yourself in the deepest hour of the night whether you would have to die if you were forbidden to write. Dig deep into your heart, where the answer spread its roots in your being, and ask yourself solemnly. Must I write?”
― Rainer Maria Rilke, Letters to a Young Poet

At the moment, I'm reading Rilke's beautiful book, "Letters to a Young Poet". Now, you have your reason why you read certain book with certain theme. Sometimes I read funny book because I feel stressed, other times I read generally encouraging book to motivate myself. Or, I read philosophy book because I'm tempted to know other perspectives other have about essential things in life. Or just want to look like a book snob. Nah. For this book, my reason to read it is pretty tragic but also (maybe) normal. I'm uncertain about my feelings towards writing. I can't lie, I think about quitting, or maybe taking a break from writing.

The book is simple, it's about series of letter exchange between Rilke and a young poet. Rilke talks about literature, art, and basically everything to this young poet. I read the first letter in fiksilotus.com, and that particular quote I put in the beginning of this blogpost kinda hit me in the head. It asked the question I avoided to answer all these times.

Must I write? Would you die if you were not allowed to write?
And when you say "I must", can you commit on it?

Under the guilt I had for a while, I must admit I kinda gradually have been losing my interest in writing. It's a really weird and torturing feeling for me. I've known writing, especially fiction writing, since I was like 7 years old. I wrote my first short story at that age, about my friend in elementary school. Since then, even though I didn't show it to people, I kept on writing short stories on novels in notebooks, and also in my parents' computer. I kept it on my secret folder. It was for fun. I could finish novels in matters of weeks. I trusted a good friend of mine to read it in junior high school, the only friend I showed it to. I told her all of my ideas on the phone. She mysteriously was just willing to hear all my weird imagination back then.

And then everything changed in high school. I had another dream. I wanted to publish my own book. I saw other teenagers published their own book and I was willing to work hard to get my book published. It was fun as well. I showed the first chapters to my classmates and they were eager to read more of it (I don't know if they mean it but those first chapters of what-soon-would-be-DanHujanpunBerhenti-spread-to-another-classes). I then found out that writing novel wasn't easy. That it took a lot of time and energy, especially to revise it, to send it to the publisher, to overcome rejection and try again. But I never complained. Never once. I really enjoyed the process. I just wanted it to be published. I loved writing to the bone. I wrote a lot of pages a day.

Then my dream came true. A publisher was interested in publishing my work. I was beyond happy. It was the best days of my life. After 3 years of struggle, write, revision, rejection, my dream came true. I was happy to just see my book being displayed in the bookstore. I thanked a lot of people in the acknowledgement section in the book.

The book changed my life, and also changed my writing. I couldn't say it was the best writing I ever had, but since then, it's still the most enjoyable writing sessions I've ever had. The book sells well, I have readers commenting on it, and surprisingly, a recognition from an award committee. And even more, I also had reader who sent me an email to say that the book prevented him from killing himself. I told my mother I wanted to keep on writing my whole life. I wanted to write more books to express myself and to help people.

But after that, writing isn't the same anymore. I try to step up my game. I read a lot, I studied method of writing even more, and I kept thinking, "So, what else can I offer? How can I surpass my first book and satisfy the reader?". It was like challenge. I got stuck for some years, then I came up with the second book. It didn't do as well as the first, but I liked the book even more than the first. But nevertheless, the game has changed.

I noticed one thing after that. I started to feel sick, unhappy, when I write. I'm only happy when I write just random weird things I want to write like "Why I want to change my name", "Things I hate about the mall", and just random things I write in my notebook that will never be a novel or short story collection to "sell". I feel unhappy and uninspired to write things like short story and novel. It becomes like work, labor, without love. I don't mind working and laboring, but it feels hard when I don't love it. And at one point, for months, I could not write at all, except in Twitter or Facebook, which doesn't count. I tried to keep up with writing by attending the writing club I have joined for years. It worked, but after the session, I just still didn't want to write anything.

Maybe other authors will comment, that's another side of being a writer. To keep the discipline when you don't wanna write at all! To keep working when it's tough, when the words don't come out! I know that, but somehow it's not enough.

I have ideas in my head, but I think, "What for?". I doubt myself, I doubt my writing. I try to reminisce about the old days, how I enjoyed writing more than everything. Writing was my escapism, when things go really wrong, when I want to have fun with the stories and the characters in my head, when I want to tell people about something. Now it's more than that. It's more like I need to escape life and my feelings and go through the story. Shouldn't I pour my feelings and life experiences into it?

But must I write?

What will happen if I stop writing? How much would I hurt? I've been chasing other things in life and I've avoided writing for a while, and it felt safer. But I don't want that to keep on happening.

I have a writer friend who told me the same thing, "I just... stopped. I just lose the interest to write. I don't have it anymore. I don't know why". I don't know if the feelings to write just come and go. Some writers, like Harper Lee, doesn't even write any new book after her tremendous success of "To Kill a Mockingbird". Does being published kill the joy of writing? I don't know. I don't know if I can blame it to that.

It was my thing, it was my own secret, and now I give access to people to read it. It was my dream, indeed, to have my works read by people. It still is. It's fun to share your feelings and thoughts with people. But to what length? What if I start to be stressed with that? With the feelings that I'm being watched and judged?

I know I'm in a race to finish my third book, which, even the first draft has been finished, the second hasn't. These questions and doubts, and the lost of interest, keep bugging me, keep knocking me on my head.

Why did I write, back then?

I want to make sense of my life. There are some moments that I can't bear myself, and I need to express it. I want to capture others' lives too, and the feelings, the nuances, the beauty, the ugliness, human, and interaction between them, in a simulation of real world. I want to express my thoughts. I want to amuse, scare, interest, sadden, and stimulate the readers. I want to leave my mark in this world. I want people who experience the feelings or situations like depicted in my writings not to ever feel alone anymore. I want them to enjoy the words.

I still love writing. I really do. Even when I declare that I'm sick of it, I'm writing this to you now.
But must I write?

Maybe it's a question I need to answer, sooner or later. Maybe I'd feel it, how it feels not to write. Or not to publish what I write. Like the one quote in that same book:


“I beg you, to have patience with everything unresolved in your heart and to try to love the questions themselves as if they were locked rooms or books written in a very foreign language. Don’t search for the answers, which could not be given to you now, because you would not be able to live them. And the point is to live everything. Live the questions now. Perhaps then, someday far in the future, you will gradually, without even noticing it, live your way into the answer.”
― Rainer Maria Rilke, Letters to a Young Poet

Tuesday, January 1, 2013

biru tahun baru

Hanya di malam itu jam 12 begitu ditunggu-tunggu. Tak ada yang benar-benar spesial. Jam 12 telah diulang berkali-kali. Tapi malam itu, untuk menyambut pukul 12 dan waktu setelahnya. orang-orang keluar dari rumah mereka, terompet ditiup kuat-kuat, musik dipasang keras-keras dari setiap sudut kota, dan ledakan-ledakan berwarna-warni mewarnai angkasa seperti coretan krayon di atas kanvas hitam.

Apa yang membuat malam itu spesial?

Apakah malam itu sebuah awal? Apakah malam itu sebuah akhir? Apa arti tahun-tahun yang mengalir, hari-hari yang membentuknya, jam-jam dan menit-menit yang berenang kencang di dalamnya, dan detik-detik yang menjadi partikel terkecilnya?

Taman di tengah kota lebih berdesakkan dibanding biasanya. Orang-orang tiba-tiba membanjirinya, duduk di pagar temboknya dan kursi-kursi, memakan gorengan dan meneguk minuman manis. Tertawa keras pada lelucon paling tak lucu sekalipun dari teman-teman mereka.

Laki-laki tua itu telah berjalan mendorong rodanya sejak sore. Berpuluh-puluh jalan telah dilewatinya, diiringi oleh mobil-mobil yang bersahutan tak sabar di belakangnya. Kakinya terasa mati rasa walau ia telah beristirahat berkali-kali. Tapi ia tak peduli. Inilah satu-satunya hidup yang ia tahu. Waktu terasa seperti air yang mengalir melewati kakinya ketika hujan mengguyur kota. Mengalir dengan begitu cepat; hanya diselang oleh panggilan yang menghentikan langkahnya.

Warna-warni di angkasa dan tawa meledak di sekelilingnya, dia tetap berjalan tanpa melihat ke atas langit atau ke sekitarnya. Waktu terus mengalir di kakinya, bukan pada jam dan tahun.

Perempuan itu duduk menatapi laki-laki tua itu, sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kekasihnya. Ia sudah lama tak melewatkan waktu selama ini dengan kekasihnya. Mereka melewatkan banyak waktu di tahun sebelumnya terpisah dari satu sama lain, tersedot oleh pekerjaan dan pertengkaran-pertengkaran yang menjadi bagian terbesar dari percakapan mereka. Ia melirik kekasihnya, laki-laki tinggi, berkacamata, dengan mata paling dalam dan indah yang membuatnya tak bisa melepaskannya, seburuk apapun kata-kata yang telah mereka lemparkan kepada satu sama lain. Malam ini mereka pun bercakap-cakap, di antara keramaian. Menurut keduanya, ini adalah percakapan terbaik yang pernah mereka miliki, terutama karena mereka tidak bisa mendengar suara masing-masing, dengan riuhnya taman dan ledakan di angkasa.

Teriakan bosan "kita pulang yuk!" dari kekasihnya terdengar menjadi "peluk aku!", dan perempuan itu dengan terharu memeluk kekasihnya yang mengerut kaget. Tapi laki-laki itu tak menolak pelukan naifnya yang begitu spontan. Seperti ciuman cepat di pipinya ketika mereka pertama kali berjalan bersama sebagai kekasih.

Jarum jam menunjuk ke angka 12. Terompet-terompet bersahut-sahutan ribut. Ledakan kembang api dimana-mana.

Ia menyapukan ciuman cepat di pipi kekasihnya. Gadis itu tersenyum.

Di sebuah hotel di belakang mereka, di lantai 4, seorang gadis sedang terisak dan menghindari tatapan laki-laki yang duduk di sebelahnya. Suara ledakan dan terompet menenangkannya, karena itu memberinya harapan bahwa tangisnya tak terdengar. Laki-laki itu, kekasihnya, menyatakan tahun ini adalah tahun baru untuk mereka dan ia ingin membuka lembaran baru di hubungan mereka. Ia ingin melakukan sesuatu yang baru, pertama, bersama, dengan gadis itu. Tapi gadis itu memukulnya keras ketika dia hendak memulainya.

Ia mengeluh, menyatakan gadis itu tak siap melakukan hal baru di tahun baru ini. Gadis itu hanya terisak. Kalau begitu hari ini tidak usah tahun baru, teriak gadis itu. Dia tak bisa membuka sesuatu yang baru. Dia ingin segalanya tetap sama.

Ia bahkan hampir memanggil polisi yang bertugas di bawah sana.

Polisi yang sedang bertugas mengatur arus kendaraan di dekat taman kota itu terhenyak melihat angkasa. Masa bertugas di malam seperti ini adalah yang terberat, karena istrinya terus mengiriminya foto-foto anak mereka yang baru lahir dan bagaimana dia berusaha meniup terompet. Ia ingin melewatkan malam ini dengan mereka. Tapi melihat ke langit, ia diam-diam teringat masa kecilnya, ketika ia menatapi langit pada pukul 12, 20 tahun lalu, ketika ia pertamakali bermimpi untuk menjadi dirinya sekarang. Untuk menjadi polisi seperti ayahnya, yang saat itupun tak ada di sampingnya. Mungkin ada di posisinya sekarang, dulu. Pukul 12, 20 tahun lalu.

Seorang anak kecil berlari-lari menghampiri polisi itu. Ia menarik-narik kakinya. Matanya merah, dan ada air yang mengucur deras dari sana. Bibirnya bergetar. Ayah saya hilang, Pak, katanya. Kemana Ayah? Polisi itu menepuknya dan bertanya kapan dia terakhir bersama ayahnya. Seperti apa Ayahnya. Anak laki-laki itu berbisik,

setahun lalu, di sini. Pukul 12 ini. Ayah saya di sini. Sekarang dia tidak ada.

Kemana dia Pak?

Dia mungkin ditelan waktu, ia ingin menjawab. Tapi itu tak pernah masuk akal untuk siapapun. Tak ada yang ingin mengaku bahwa mereka ditelan waktu. Mereka ingin merasa bahwa mereka mengendalikan waktu dan menamainya seingin mereka. Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember. 2011, 2012, 2013. Mereka ingin menamainya dengan segala hal.

Tapi waktu tak pernah punya nama, tak pernah punya angka.

Mari, saya bantu kamu mencari, katanya akhirnya.



Selamat tahun baru teman-teman :)