Monday, June 3, 2013

Frame Film yang Terhapus


Seperti apa, ya, film Indonesia tanpa sejarah di belakangnya?

Itu pertanyaan yang muncul di benak saya waktu menghadiri nonton bareng film Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) hari Sabtu 1 Juni 2013 kemarin di Rumah Buku, Hegarmanah, Bandung. Film dokumenter buatan Forum Lenteng ini mengangkat masalah urgent yang tidak pernah saya dengar sebelumnya: sejarah film Indonesia dalam bahaya. Film dokumenter ini mengangkatnya dari sudut pandang seorang tokoh film ternama Indonesia yang sekarang telah berpulang, bapak Misbach Yusa Biran. Pernah dengar namanya? Saya belum, dan saya jadi merasa bersalah. Kenapa saya lebih tahu nama-nama sutradara terkenal dari Hollywood dan negara-negara lain, tapi tidak tahu sutradara terkenal Indonesia? Padahal namanya ada di sekitar 40 film Indonesia, dan Ibu saya bilang dia memang terkenal di zamannya. Apa saya memang sebuta itu pada sejarah perfilman Indonesia? Oke, balik lagi ke topik. Ternyata Pak Misbach Yusa Biran adalah orang yang menyadari kurangnya dokumentasi film Indonesia. Dia akhirnya mendirikan Sinematek bersama Asrul Sani, yang kira-kira merupakan tempat dikumpulkannya dokumentasi film Indonesia, dari rol-rol film, manuskrip skenario, poster, foto, dari ribuan film Indonesia. Sayangnya, ini bukan tanpa kendala. Sinematek tidak dapat dikelola sebagaimana seharusnya, karena banyak film yang tidak dirawat dengan baik sampai tidak bisa diputar lagi, bahkan sampai membatu. Alat-alat yang dibutuhkan tidak ada, dan banyak teknik yang salah dalam perawatannya. Belum lagi masalah kekurangan dana. Tapi, siapa yang mengurusnya selain mereka?

Sesaat, saya pikir masalahnya adalah kurangnya kepedulian orang-orang Indonesia tentang pengurusan sejarah film itu. Tapi ternyata masalahnya lebih dalam lagi. Organisasi Sinematek ini ternyata tertutup dan seakan "menolak" bantuan dari luar. Intervensi dari luar tidak bisa masuk, orang-orang yang mau membantu didorong pergi. Ruwet. Diskusi kami malam itu membahas juga bagaimana ini bisa terjadi, dan ternyata kendala terbesarnya adalah bagaimana organisasi itu adalah badan hukum pribadi yang bahkan negara pun jadi sulit ikut campur di dalamnya.

Tapi apa jadinya kalau sejarah film kita betul-betul terhapus dengan masalah pemeliharaan seperti ini? Pertanyaan lebih lanjut, sepenting apa sebuah negara mengelola bukti-bukti sejarah perfilmannya?

Almarhum Pak Misbach sangat meyakini kekuatan film sebagai media persuasi. Ada banyak film-film yang pesannya begitu penting di masa lalu, dari tentang perjuangan, pahlawan-pahlawan, sampai pesan-pesan kehidupan. Akan terasa sangat salah ketika kita tidak bisa melihat balik ke masa itu dan mengingatkan diri pada inti film Indonesia. Apa yang pernah disampaikan filmmaker hebat di masa lalu seperti Usmar Ismail, Teguh Karya, Sjumandjaja?  Di tengah maraknya kritik terhadap film Indonesia sekarang, kita juga tidak bisa menutup mata dari karya-karya itu. Belum lagi peran film sebagai proyeksi dari masyarakat di kala itu. Tidakkah kita bisa mempelajari masyarakat kita di masa lalu dengan film-film itu, mempelajari nilai-nilainya? Untuk membuat proyeksi yang baik dari masyarakat kita sekarang juga, untuk dilihat oleh generasi berikutnya? Tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau kita bahkan tidak bisa mengurus bukti sejarah yang kita punya?

Masalah lain adalah restorasi film. Restorasi film Lewat Djam Malam yang baru-baru ini dilakukan ternyata memakan biaya sampai 6 milyar. Dan ternyata itu dilakukan oleh negara lain, Singapura tepatnya. Kalau memang Indonesia ingin melakukan restorasi lagi, bagaimana kita menyelamatkan film-film ini, dengan perhitungan restorasi 6 milyar per film? Yang paling menyedihkan, film-film kita sekarang banyak yang malah disimpan di negara lain seperti Jepang dan Belanda. Mereka yang mengurus dan merestorasi. Yang artinya itu menjadi milik mereka sekarang. Apa kita bisa membiarkan sejarah kita dicuri seperti itu?

Gedoran tentang pentingnya sejarah perfilman Indonesia jujur bikin saya miris juga. Malam itu, semua orang berpikir tentang apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan frame-frame yang terhapus ini. Diskusi berakhir dengan pemikiran bahwa sudah waktunya Indonesia menyatakan bahwa film-film kita ini adalah warisan budaya yang harus diselamatkan, dan membuat sistem yang lebih baik untuk merawatnya. Kepergian dari tokoh yang begitu peduli dan mengabdikan dirinya untuk menyelamatkan sejarah film Indonesia jadi penggedor kuat yang makin menekankan urgensi ini.

Satu lagi, pembicara malam itu, Prima Rusdi, menyadarkan saya juga tentang satu hal. Mbak Prima menyatakan bahwa setiap hal yang kita rekam, bahkan hanya sekadar video sehari-hari, adalah sejarah. Adalah bagian dari sejarah, dan pantas disimpan untuk menjadi dokumentasi sejarah. Dengan pemikiran seperti itu, dan apa yang sudah terjadi selama ini, dia berpikir bahwa mudah-mudahan orang juga jadi berpikir dua kali tiap akan merekam sesuatu. Apalagi di zaman digital seperti sekarang, dimana sekali kita menyimpan sesuatu di internet, data itu tidak akan pernah terhapus.

Jadi, sejarah apa yang akan kita buat sekarang, dan seperti apa kita akan memperlakukan sejarah masa lampau kita?

(lebih jauh tentang Sinematek, mungkin sekilas bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Sinematek_Indonesia)

P.S: Maaf jadi agak serius, saya tertarik mengangkat isu ini karena kemarin bener-bener kaget setelah nonton dokumenter itu. Bravo, forum Lenteng. Dan film Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) dibuat oleh Hafiz Rancajale (penulis dan sutradara), Fuad Fauji (riset dan asisten sutradara), Mahardika Yudha (riset), serta Syaiful Anwar (kamera). Film ini diputar perdana 29 Maret 2013 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemudian diputar keliling beberapa kota, termasuk Bandung.
Kesalahan faktual mungkin saja ada di tulisan saya ini, karena ini adalah data yang saya kumpulkan dari menonton film dokumenter itu dan diskusi setelahnya. Kalau ada yang mau mengoreksi, dipersilakan.

1 comment:

  1. Saya juga miris bacanya. Selama ini juga saya buta sejarah film Indonesia karena lebih mengedepankan menjadi penikmat saja.

    Saya pikir, komunitas-komunitas film yang ada bisa digerakan untuk kampanye kepedulian sejarah film Indonesia.

    ReplyDelete