Where are you going?
I don't know. I'm just looking for noise. That's my direction in the world.
Friday, August 30, 2013
Thursday, August 29, 2013
Last Day On Earth
Menit itu adalah menit terpanjang dalam hidupku.
Bergerak. Aku bisa mendengar suara derap langkah orang-orang berlarian di luar sana. Entah mengejar apa. Mencari siapa.
Bergerak. Tanah juga. Yang biasanya tertidur tenang di bawah kakiku. Dinding yang bergeser. Retak. Segala hal yang kupikir tak akan pernah beranjak dari tempatnya. Beton dan kaca-kaca beterbangan.
Tak bergerak. Onggokan tubuhmu di atas pangkuanku. Tak membuka mata, tak mati. Tapi aku masih bisa membayangkan dirimu di dalamnya. Tentu saja.
Pinggulmu yang tadi malam masih melenggak-lenggok, menempel ke tubuhku. Mengikuti irama lagu cepat, dengan bass berdentum-dentum yang menggetarkan dinding kamarmu. Jenis musik yang padahal kau benci. Siapa peduli! Teriakmu. Tubuh kurusmu kemudian naik ke atas kasur, melompat-lompat riang seakan kau 20 tahun lebih muda dari usiamu.
Aku hanya bisa duduk di sofa sebelah kasurmu, menyesap teh, memandangimu. Rambut panjangmu kini tak beraturan lagi, berjatuhan di depan wajahmu. Kau bahkan tak menyibaknya.
Ayo sini! teriakmu. Ayo, jangan sampai kamu menyesal!
Tubuhku tetap tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan energi yang sedang meledak-ledak di dalam dirimu. Entah kenapa.
Berita di TV masih menyiarkan hal yang sama. "Besok! Hari terakhir di dunia. Para ahli telah memastikannya." Si pembaca berita kemudian terlihat menahan tangis. Lucu.
Kau kemudian meloncat menuju rak berisi buku-buku kesayanganmu. Tubuhmu masih bergoyang tak beraturan. Dan seakan itu adalah bagian dari tarian ritual, kau mengambil satu buku dan mulai merobek-robeknya. Kini alisku naik. Tapi kau tampak menikmatinya. Aku ingat kau pernah bilang betapa buku-buku itu adalah dunia keduamu. Bahwa buku-buku itu menyelamatkanmu.
Penampilanmu kau tutup dengan menarik rak bukumu itu ke lantai, sampai suara berdebum keras terdengar. Tetangga kita berteriak. Berisik! Teriak mereka.
Siapa yang tidur di hari terakhir dunia! Teriakmu.
Mereka tak bisa menyahut.
Dengan napas terengah, kau terjatuh ke kasurmu. Sesaat kau membatu, memandangi langit-langit. Hey, kesini, ajakmu.
Aku patuh. Kurebahkan tubuhku juga di sampingmu.
Ayolah, apa yang kamu inginkan di hari terakhir ini?
Tidak ada, ujarku.
Kau bercanda.
Aku cuma ingin bersamamu, bisikku. Lalu aku menyadari betapa murahannya kata-kataku.
Semua ini... nggak ada artinya buatmu ya? tanyamu.
Tidak ada.
Setidaknya bilanglah kata-kata terakhirmu padaku. Kata-kata perpisahanmu pada dunia.
Fuck you.
Apa?
Itu kata-kata terakhirku.
Oh, itu, kata-kata terakhirmu? Baiklah. Kau tertawa lepas. Hey, aku tidak ingin melihat dunia ini berakhir, lho. Aku tidak siap. Kita juga akan menghilang ya?
Ya.
Kita tinggal di sini saja ya? Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku dan kamu saja.
Oke.
Oke.
Lalu kita tertidur. Waktu dan tempat berseliweran tanpa jejak. Kita saja.
Dan di sini. Kau tak bangun juga.hingga sekarang. Aku bisa mendengar detak waktunya. Satu menit lagi. Akhir dunia.
tik. tik.
boom.
Bergerak. Aku bisa mendengar suara derap langkah orang-orang berlarian di luar sana. Entah mengejar apa. Mencari siapa.
Bergerak. Tanah juga. Yang biasanya tertidur tenang di bawah kakiku. Dinding yang bergeser. Retak. Segala hal yang kupikir tak akan pernah beranjak dari tempatnya. Beton dan kaca-kaca beterbangan.
Tak bergerak. Onggokan tubuhmu di atas pangkuanku. Tak membuka mata, tak mati. Tapi aku masih bisa membayangkan dirimu di dalamnya. Tentu saja.
Pinggulmu yang tadi malam masih melenggak-lenggok, menempel ke tubuhku. Mengikuti irama lagu cepat, dengan bass berdentum-dentum yang menggetarkan dinding kamarmu. Jenis musik yang padahal kau benci. Siapa peduli! Teriakmu. Tubuh kurusmu kemudian naik ke atas kasur, melompat-lompat riang seakan kau 20 tahun lebih muda dari usiamu.
Aku hanya bisa duduk di sofa sebelah kasurmu, menyesap teh, memandangimu. Rambut panjangmu kini tak beraturan lagi, berjatuhan di depan wajahmu. Kau bahkan tak menyibaknya.
Ayo sini! teriakmu. Ayo, jangan sampai kamu menyesal!
Tubuhku tetap tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan energi yang sedang meledak-ledak di dalam dirimu. Entah kenapa.
Berita di TV masih menyiarkan hal yang sama. "Besok! Hari terakhir di dunia. Para ahli telah memastikannya." Si pembaca berita kemudian terlihat menahan tangis. Lucu.
Kau kemudian meloncat menuju rak berisi buku-buku kesayanganmu. Tubuhmu masih bergoyang tak beraturan. Dan seakan itu adalah bagian dari tarian ritual, kau mengambil satu buku dan mulai merobek-robeknya. Kini alisku naik. Tapi kau tampak menikmatinya. Aku ingat kau pernah bilang betapa buku-buku itu adalah dunia keduamu. Bahwa buku-buku itu menyelamatkanmu.
Penampilanmu kau tutup dengan menarik rak bukumu itu ke lantai, sampai suara berdebum keras terdengar. Tetangga kita berteriak. Berisik! Teriak mereka.
Siapa yang tidur di hari terakhir dunia! Teriakmu.
Mereka tak bisa menyahut.
Dengan napas terengah, kau terjatuh ke kasurmu. Sesaat kau membatu, memandangi langit-langit. Hey, kesini, ajakmu.
Aku patuh. Kurebahkan tubuhku juga di sampingmu.
Ayolah, apa yang kamu inginkan di hari terakhir ini?
Tidak ada, ujarku.
Kau bercanda.
Aku cuma ingin bersamamu, bisikku. Lalu aku menyadari betapa murahannya kata-kataku.
Semua ini... nggak ada artinya buatmu ya? tanyamu.
Tidak ada.
Setidaknya bilanglah kata-kata terakhirmu padaku. Kata-kata perpisahanmu pada dunia.
Fuck you.
Apa?
Itu kata-kata terakhirku.
Oh, itu, kata-kata terakhirmu? Baiklah. Kau tertawa lepas. Hey, aku tidak ingin melihat dunia ini berakhir, lho. Aku tidak siap. Kita juga akan menghilang ya?
Ya.
Kita tinggal di sini saja ya? Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku dan kamu saja.
Oke.
Oke.
Lalu kita tertidur. Waktu dan tempat berseliweran tanpa jejak. Kita saja.
Dan di sini. Kau tak bangun juga.hingga sekarang. Aku bisa mendengar detak waktunya. Satu menit lagi. Akhir dunia.
tik. tik.
boom.
Subscribe to:
Posts (Atom)