“Suatu hari
nanti aku akan jadi petualang!”
Aku masih
ingat kata-kata yang selalu diutarakannya pada ibu kami sejak dia kecil. Rencananya
itu tidak terlalu dapat kami pahami saat itu, karena anak-anak lain lebih
banyak menyatakan bahwa mereka ingin jadi dokter atau pilot. Tapi ia tidak
peduli. Ia mengagumi Indiana Jones dan petualangan-petualangannya di daerah
eksotis, dan mengagumi pelayar seperti Marco Polo dan Columbus yang ia baca di
ensiklopedianya.
Sejak kecil
ia juga sering berkata bahwa ada lebih banyak di dunia ini dari yang kita tahu.
Kalau kita berjalan cukup jauh, menyelam cukup dalam, akan ada hal-hal yang
bisa kita temukan. Ia senang mengeksplorasi tempat-tempat di sekitar rumah kami
begitu pulang dari sekolah, dibantu oleh teman-temannya. Ia akan pulang ketika
petang, penuh peluh dan tanah. Entah bagaimana, tapi ia juga masih punya semangat
untuk menceritakan apa yang dia temukan selama ia mengeksplorasi tempat-tempat
itu.
Ia mengaku menemukan sangkar burung di sebuah pohon yang ditemuinya, ia mengaku bertemu hewan-hewan bersuara aneh, ia mengaku bertemu penebang kayu, petani, sampai juga bertemu dan berbicara dengan seorang peri.
Kami tak
terlalu peduli dan hanya mengangguk-angguk saja ketika ia menceritakannya.
Hingga
suatu hari ia merasa penasaran. Sangat penasaran.
Rasa penasaran penting dimiliki para petualang. Tapi rasa penasaran bisa mematikan kucing yang katanya punya 9 nyawa. Begitu juga dirinya. Pada suatu hari, dia merasa sangat penasaran hingga sesuatu terjadi padanya.
Begini.
Yang paling
Ibu takutkan dari keinginannya untuk bertualang adalah bahwa dia akan
benar-benar bertualang jauh seperti tokoh-tokoh yang dikaguminya, dan tak
pernah kembali. Dia akan menyadari bahwa dunia yang dia miliki sekarang tidak
cukup dan dia ingin pergi jauh. Atau sesuatu terjadi padanya kalau ia
berpetualang sendiri. Karena ia butuh orang lain. Saat itu, kemungkinan itu
tidak terlalu besar karena dia masih berumur 7 tahun. Sejauh apa anak berumur 7
tahun bisa pergi? Apalagi anak seperti dia?
Kami
merendahkan kemampuannya.
Malam itu
dia tidak pulang. Tidak ada baju kotor penuh peluhnya, tidak ada celotehannya
ketika makan malam, teman-temannya juga mengaku tidak melihatnya hari itu. Dia
benar-benar tidak ada. Ibu menangis histeris. Kami langsung naik ke mobil
bersama ayah dan mulai berkeliling kemana-mana. Setiap kali bertemu seseorang,
kami akan bertanya padanya, apakah dia melihat adikku? Anak kecil kurus dengan
rambut tipis, yang selalu membawa tongkat karena dia tidak bisa melihat?
Mereka
tidak melihatnya. Kami telah melintasi banyak jalan, jalan-jalan yang juga baru
kulewati karena aku tak pernah mau melihat ke sekitar. Tidak ada yang melihatnya.
Ibu menangis semakin histeris. Dia sudah cukup berani untuk membiarkannya
keluar bersama teman-temannya, membiarkannya melakukan banyak hal yang tak
berani dilakukan anak-anak sepertinya. Tapi Ibu tak mempersiapkan diri untuk
kehilangannya.
Kami tak
bisa menemukannya selama seminggu itu. Suasana rumah begitu sepi dan mencekam.
Tak ada yang tertawa dan membawa kisah-kisah menarik. Aku merindukannya lebih
dari kapanpun. Aku mulai memberanikan diri untuk keluar dan berjalan lebih jauh
dari yang biasa kutempuh. Aku terus berpikir apakah dia juga melewati jalan
ini. Apakah dia akan kembali. Apakah dia sedang berpetualang ke negeri yang
jauh.
Beberapa
bulan berlalu. Aku tak bisa bilang bahwa kami telah merelakannya. Tapi kami
sudah tak bisa mencari kemana-mana lagi, hanya bisa menunggu, karena kertas
telah disebar kemana-mana dan kami telah menanyai cukup banyak orang.
Hingga
suatu hari kudengar suara teriakannya di depan rumah.
Jantungku
berhenti berdetak untuk sejenak.
Kuintip
dari balik jendela. Dia sedang berlutut di depan rumah. Ekspresinya tak dapat
kujelaskan dengan kata-kata.
Aku segera
berlari keluar dan memeluknya erat. Dia mulai menangis tersedu-sedu. Aku juga
menangis.
“Aku senang
aku bisa ke rumah. Aku belum bisa jadi petualang. Aku ingin jadi petualang yang
bisa pulang ke rumah lagi. Aku cinta rumah,” isaknya.
Ia
bercerita bahwa ia berjalan jauh sendirian dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang berkata dia sedang dalam perjalanan. Dia bertanya apa laki-laki itu
petualang. Laki-laki itu mengiyakan. Laki-laki itu berkata dia akan pergi jauh.
Dia bilang dia harap dia bisa ikut, setidaknya hingga kota lain. Ia penasaran.
Keluarganya tak pernah mengajaknya keluar kota. Laki-laki itu tak menolak.
Dia tak
bercerita apa saja yang dilakukan laki-laki itu. Dia hanya bilang laki-laki itu
menolak untuk memulangkannya. Awalnya dia bersemangat, tapi dia mulai rindu padaku,
ibu, ayah, dan rumah. Dia memutuskan untuk kabur, untuk pulang ke rumah.
Berhari-hari. Mencari tumpangan pulang. Tidur di pinggir jalan. Kelaparan. Ketakutan.
Dia
menangis keras sekali, tapi dia kemudian tertawa,karena menurutnya, anehnya,
petualangan pulang ke rumah adalah petualangan terhebatnya.
Ditulis dalam sesi menulis Reading Lights Writers' Circle 2 Februari 2013